Selasa, 24 Maret 2015

hasil bahtsul masail tentang pohon yang dahannya di tanah orang lain

Dlm kitab2 fiqih diktakan apabila ada,seseorang yg mmliki pohon yg rantingny mnjulur diatas tnAh tetangganya,mka pemilik phon trsebut hrs mau mngalihkn ato memotongny,jika tdk mau mka diperbolehkn bgi tetangga trsebut utk mngalihkn ato memtongny mskipun tnpa seizin dr aparat setempat,hal trsebut juga diktakn syekh abdurrahman as sa'di

Hdist yg dimksud syekh ibnu sa'di adlh "dr abu hurairoh rosululloh Saw brsabda seorang tetangga yg memiliki tmbok ,tdk boleh melarang tetanggany utk meletakkan kayu diatasnya (Hr.bukhori no 2331)

Hasil Bahtsul masail Grub IWNU ( Hukum menyentuh suami istri apakah batal wudhunya )

“Assalamu’alaikum. Ustadz, apakah bersentuhan kulit antara suami istri dapat membatalkan wudhu? Kalau boleh ana minta jawaban menurut 4 imam madzhab”.

Abdullah 08564044xxxx
Jawab:
Wa’alaikumus salam
Jika terjadi sentuhan langsung antara laki-laki dan perempuan apakah membatalkan wudhu ataukah tidak ada tiga pendapat ulama.
Pendapat pertama, wudhu itu batal baik sentuhan tersebut diiringi dengan syahwat ataukah tidak.
Ibnu Katsir mengatakan, “Pendapat yang mengatakan wajibnya berwudhu karena sekedar menyentuh perempuan adalah pendapat Syafii dan para ulama mazhab Syafii, Malik dan pendapat yang terkenal dari Ahmad bin Hanbal” (Tafsir al Qur’an al Azhim 1/669, terbitan Dar Salam).
Pendapat ini juga didukung oleh Ibnu Hazm. Ibnu Mas’ud dan Ibnu Umar juga berpendapat dengan pendapat ini.
Pendapat kedua, bersentuhan dengan perempuan tidaklah membatalkan wudhu sama sekali. Inilah pendapat Abu Hanifah, Muhammad bin Hasan asy Syaibani dan sebelumnya merupakan pendapat Ibnu Abbas, Thawus, al Hasan al Bashri dan Atha’. Pendapat inilah yang dipilih oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
Pendapat ketiga mengatakan bahwa menyentuh perempuan itu membatalkan wudhu jika diiringi syahwat dan tidak membatalkan wudhu jika tanpa syahwat.
Pendapat yang paling kuat adalah pendapat kedua mengingat dalil-dalil sebagai berikut.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِى عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِى الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ وَهُوَ يَقُولُ « اللَّهُمَّ أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لاَ أُحْصِى ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْت

Hasil Bahtsul masail grub Ikatan Warga NU ( hukum makan bekicot dan hewan melata lainnya )

Hukum memakan bekicot dan hewan melata lainnya
Kitab almuhalla
Ibnu Hazm mengatakan,

ولا يحل أكل الحلزون البري , ولا شيء من الحشرات كلها : كالوزغ ، والخنافس , والنمل , والنحل , والذباب , والدبر , والدود كلهطيارة وغير طيارةوالقمل , والبراغيث , والبق , والبعوض وكل ما كان من أنواعها ؛ لقول الله تعالى : (حرمت عليكم الميتة) ؛ وقوله تعالى (إلا ما ذكيتم)
“Tidak halal makan bekicot darat, tidak pula binatang melata semuanya, seperti: cicak, kumbang, semut, lebah, lalat, cacing dan yang lainnya, baik yang bisa terbang maupun yang tidak bisa terbang, kutu kain atau rambut, nyamuk, dan semua binatang yang semisal. Berdasarkan firman Allah, yang artinya: “Diharamkan bagi kalian bangkai, darah…..” kemudian Allah tegaskan yang halal, dengan menyatakan, “Kecuali binatang yang kalian sembelih.”

Tentang penyembelihannya....
Kemudian Ibn Hazm menegaskan,

وقد صح البرهان على أن الذكاة في المقدور عليه لا تكون إلا في الحلق ، أو الصدر , فما لم يقدر فيه على ذكاة : فلا سبيل إلى أكله : فهو حرام ؛ لامتناع أكله ، إلا ميتة غير مذكى
“Sementara dalil yang shahih telah mengaskan bahwa cara penyembelihan yang hanya bisa dilakukan pada leher atau dada. Untuk itu, hewan yang tidak mungkin disembelih, tidak ada jalan kaluar untuk bisa memakannya, sehingga hukumnya haram. Karena tidak memungkinkan dimakan, kecuali dalam keadaan bangkai, yang tidak disembelih. (Al-Muhalla, 6/76).

Senin, 23 Maret 2015

tahapan suluk dalam tasawuf

1.        Tahapan Suluk Dalam Tasawuf
Pertanyaan:
Dari sebuah buku, misalnya karya Ust. Hartono Jais sering dijumpai klaim dan tuduhan bahwa tata cara dalam Tariqah maupun Tasawuf telah menyimpang dari ajaran Islam. Benarkah tuduhan tersebut?
Jawaban:
Dalam ilmu Tasawwuf ada istilah ‘al-Maqamat’ atau tahapan/tingkatan yang akan dilalui oleh seseorang untuk mencapai ‘makrifat’ atau mengenal Allah. Perjalanan panjang menuju tujuan tersebut disebut dengan ‘suluk’.
Maqamat tersebut menurut al-Ghazali adalah: Taubat → Sabar → Fakir → Zuhud (tidak cinta dunia secara berlebihan) → Tawakkal → Mahabbah (cinta) → Makrifat → Ridla.
Sedangkan menurut ath-Thusi adalah: Taubat → Wara’ (menjauhi syubhat dab haram) → Zuhud → Fakir → Sabar → Ridla → Tawakkal → Makrifat.
Jenjang Tasawuf menurut al-Kalabadzi adalah: Taubat →   Zuhud  →  Sabar  →  Fakir  →  Tawadlu’  →  Takwa  → Tawakkal → Ridla → Mahabbah (cinta) → Makrifat.
Dan dalam metode Syaikh al-Qusyairi adalah: Taubat → Wara’ → Zuhud →  Tawakkal → Ridla.
Suluk tersebut didasarkan pada sabda Rasulullah Saw:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ g إِنَّ اللهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِى وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ (رواه البخارى 6502)
“Sesungguhnya Allah berfirman (Hadis Qudsi): Barangsiapa yang memusuhi seorang wali maka Aku mengizinkan ber-perang. Tidak ada yang seorang hamba yang mendekatkan diri kepadaKu yang lebih Aku cintai daripada hal-hal yang telah Aku wajibkan kepadanya. Dan hambaku tiada berhenti mendekatkan diri kepadaKu dengan ibadah sunah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya maka Aku menjadi pendengarannya, penglihatannya, tangan yang dipukulnya, langkah kakinya. dan jika ia meminta maka sunggu Aku kabulkan, dan jika ia berlindung kepadaKu, niscaya Aku lindungi” (HR al-Bukhari)
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:
قَالَ الطُّوفِيُّ: هَذَا الْحَدِيثُ أَصْلٌ فِي السُّلُوكِ إِلَى اللهِ وَالْوُصُول إِلَى مَعْرِفَتِهِ وَمَحَبَّتِهِ وَطَرِيقِهِ، إِذْ الْمُفْتَرَضَاتُ الْبَاطِنَةُ وَهِيَ الْإِيمَان وَالظَّاهِرَة وَهِيَ الْإِسْلَامُ وَالْمُرَكَّبُ مِنْهُمَا وَهُوَ الْإِحْسَانُ فِيهِمَا كَمَا تَضَمَّنَهُ حَدِيثُ جِبْرِيلَ، وَالْإِحْسَانُ يَتَضَمَّنُ مَقَامَاتِ السَّالِكِينَ مِنْ الزُّهْدِ وَالْإِخْلَاصِ وَالْمُرَاقَبَةِ وَغَيْرِهَا، وَفِي الْحَدِيثِ أَيْضًا أَنَّ مَنْ أَتَى بِمَا وَجَبَ عَلَيْهِ وَتَقَرَّبَ بِالنَّوَافِلِ لَمْ يُرَدَّ دُعَاؤُهُ لِوُجُوْدِ هَذَا الْوَعْدِ الصَّادِقِ الْمُؤَكَّدِ بِالْقَسَمِ (فتح الباري لابن حجر - ج 18 / ص 342)
“Ath-Thufi berkata: Hadis ini adalah dalil dasar dalam melakukan suluk (tahapan/jenjang) menuju Allah dan sampai pada makrifat (mengenal) Allah dan mencintainya. Sebab kewajiban-kewajiban batin seperti iman, dan kewajiban-kewajiban fisik yaitu Islam, dan yang tersusun dari keduanya, yaitu Ihsan sebagaimana dalam hadis yang disampaikan dalam kisah Malaikat Jibril. Sementara Ihsan mengandung tahapan-tahapan yang dilalui oleh pelaksana, seperti zuhud, ikhlas, diawasi oleh Allah dan lainnya. Dalam hadis ini juga dijelaskan bahwa orang yang melakukan ibadah wajib dan mendekatkan diri dengan ibadah sunah donya tidak akan ditolak, sebab telah ada janji yang dikuatkan dengan sumpah” (Fathul Bari 18/342)
Sedangkan subtansi ajaran dalam Tasawuf adalah membersihkan hati dari akhlak yang buruk dan menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji. Hal ini berdasarkan firman Allah:
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا (7) فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا (8) قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا (9) وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا [الشمس/7-10]

“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” (Asy-Syams 7-10)

Kamis, 19 Maret 2015

Menggerakkan telunjuk saat tasyahud,gimana hukumnya?

        Menggerakkan Telunjuk Saat Tasyahhud?
Pertanyaan:
Bagaimanakah hukum menggerak-gerakkan jari telunjuk saat salat (Tasyahhud)? 
Jawaban:
Dalam hadis sahih riwayat Imam Muslim mengenai tatacara tangan saat tasyahhud adalah meletakkan tangan kanan di atas lutut kanan dengan menggenggam tangan (seperti saat tasyahhud pada umumnya), kemudian Rasulullah berisyarat dengan jari telunjuknya.
Namun ada riwayat an-Nasai (1251) dari sahabat Abu Wail yang melihat Rasulullah Saw menggerakkan jarinya tersebut saat Tasyahhud:
عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ قَالَ قُلْتُ لَأَنْظُرَنَّ إِلَى صَلَاةِ رَسُولِ اللهِ g كَيْفَ يُصَلِّي  …وَحَلَّقَ حَلْقَةً ثُمَّ رَفَعَ أُصْبُعَهُ فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهَا (رواه النسائي رقم 1251)
“Wail bin Juhr berkata: Sungguh saya melihat salat Rasulullah… Dan Rasulullah menggenggam tangannya kemudian mengangkat jarinya, saya melihat Rasulullah menggerakkan jarinya” (HR an-Nasai No 1251)
Sementara dari sahabat Ibnu Zubair yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan an-Nasai mengatakan bahwa Rasulullah Saw tidak menggerakkan jarinya.
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ الزُّبَيْرِ أَنَّ النَّبِيَّ g كَانَ يُشِيرُ بِأُصْبُعِهِ إِذَا دَعَا وَلاَ يُحَرِّكُهَا (رواه النسائي رقم 1253 وابو داود رقم 839)
“Rasulullah berisyarah dengan jarinya saat tahiyat dan tidak menggerakkannya” (HR an-Nasai No 1251 dan Abu Dawud No 839)
Dari dua hadis yang seolah bertentangan ini, ahli hadis al-Baihaqi mencoba memadukan makna keduanya: "Bisa jadi yang dimaksud 'menggerakkan tangan' adalah berisyarat dengan mengangkat telunjuk, bukan menggerakkan dalam arti  diulang-ulang"  (Aun al-Ma'bud
Syarah Sunan Abi Dawud, 2/305)
Kendatipun demikian, Imam Malik tetap memilih hadis Abu Wail dan menganjurkan menggerakkan jari telunjuk sejak awal tasyahhud. Sementara menurut Imam Hanafi mengangkat telunjuk disunnahkan saat mengucap-kan 'Laa' dari kalimat Syahadat tanpa menggerakkannya. Imam Syafii menganjurkan mengangkat jari saat mengucap 'illa Allah' sebagai isyarat mengesakan Allah dengan 1 jari telunjuk dan tidak digerakkan sampai selesai salat. (Fatawa al-Azhar 9/23)
Mengapa mengangkat jari telunjuk saat membaca syahadat?
وَمَوْضِعُ اْلإِشَارَةِ عِنْدَ قَوْلِهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ لِمَا رَوَاهُ الْبَيْهَقِي مِنْ فِعْلِ النَّبِيِّ وَيَنْوِي بِاْلإِشَارَةِ التَّوْحِيْدَ وَاْلإِخْلاَصَ فِيْهِ فَيَكُوْنُ جَامِعًا فِي التَّوْحِيْدِ بَيْنَ الْفِعْلِ وَالْقَوْلِ وَاْلاِعْتِقَادِ وَلِذَلِكَ نَهَي النَّبِي عَنِ اْلإِشَارَةِ بْالإِصْبَعَيْنِ (عون المعبود 2/ 305)

“Al-Baihaqi meriwayatkan dari Rasulullah Saw tentang waktu mengangkat telunjuk adalah ketika mengucapkan kalimat Syahadat, dan berniat sebagai isyarat Tauhid dan Ikhlas beribadah kepada Allah”. (Aun al-Ma'bud Syarah Sunan Abi Dawud, 2/305)