Kamis, 19 Februari 2015

berdoa mengangkat tangan

1.        Berdoa Dengan Mengangkat Kedua Tangan
Pertanyaan:
Bagaimanakah hukumnya berdoa dengan mengangkat
kedua tangan lalu mengusapkannya ke wajah, baik setelah salat ataupun selain salat? 
Jawaban:
Ada dua penjelasan hadis dalam masalah ini, yaitu hadis secara umum dan khusus. Penjelasan hadis secara umum adalah sabda Rasulullah Saw:
عَنْ سَلْمَانَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ g إِنَّ رَبَّكُمْ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَيِيٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِي مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ إِلَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا (رواه أبو داود رقم 1273 والحاكم رقم 1831 وابن ماجه رقم 3855 والترمذى رقم 3479 وحسنه)
"Sesungguhnya Allah Dzat yang maha hidup nan mulia. Allah malu dari hambanya yang mengangkat kedua tangannya (meminta) kepada-Nya untuk menolak permintaannya" (HR Abu Dawud No 1273, Ibnu Majah No 3855, al-Hakim No 1831 dan Turmudzi No 3497, ia menilainya hasan). Juga sebuah hadis:
وَعَنْ سَلْمَانَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ g  مَا رَفَعَ قَوْمٌ أَكُفَّهُمْ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ يَسْأَلُوْنَهُ شَيْئًا إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَى اللهِ أَنْ يَضَعَ فِي أَيْدِيْهِمْ الَّذِي سَأَلُوْا (رواه الطبراني في الكبير رقم 6142 قلت : له حديث في السنن غير هذا رواه الطبراني ورجاله رجال الصحيح (مجمع الزوائد 10/ 265)
"Tidak ada satu kaum yang mengangkat tangannya kepada Allah meminta sesuatu kepada-Nya kecuali menjadi kewajiban bagi Allah untuk mengabulkannya" (HR Thabrani dalam al-Kabir No 6142, al-Hafidz al-Haitsami berkata:
"perawinya adalah perawi sahih")
Hadis yang secara khusus setelah salat:
وَعَنْ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي يَحْيَى قَالَ رَأَيْتُ عَبْدَ اللهِ بْنَ الزُّبَيْرِ وَرَأَى رَجُلاً رَافِعًا يَدَيْهِ يَدْعُوْ قَبْلَ أَنْ يَفْرُغَ مِنْ صَلاَتِهِ فَلَمَّا فَرَغَ مِنْهَا قَالَ إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ g لَمْ يَكُنْ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ صَلاَتِهِ (رواه الطبراني وترجم له فقال: محمد بن أبي يحيى الأسلمي عن عبد الله بن الزبير ورجاله ثقات) مجمع الزوائد (10/ 266)
“Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Zubair melihat seseorang yang mengangkat kedua tangannya berdoa sebelum selesai dari salat. Setelah selesai Abdullah bin Zubair berkata: "Sesungguhnya Rasulullah Saw tidak mengangkat kedua tangannya hingga selesai dari salatnya” (HR Thabrani, al-Hafidz al-Haitsami berkata: "Para perawinya terpercaya")
Adapun mengusap wajah:
عَنْ عُمَرَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ g إِذَا مَدَّ يَدَيْهِ فِى الدُّعَاءِ لَمْ يَرُدَّهُمَا حَتَّى يَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ " (قال الحافظ فى "البلوغ" 1 / 312: أخرجه الترمذى و له شواهد منها: حديث ابن عباس عند أبى داود وغيره ومجموعها يقضى بأنه حديث حسن اهـ روضة المحدثين 9/ 465)
“Diriwayatkan dari Sayidina Umar bahwa bila Rasulullah Saw mengangkat kedua tangannya dalam berdoa, maka beliau tidak mengembalikannya hingga mengusap wajahnya dengan kedua tangannya” (HR Turmudzi, al-Hafidz Ibnu Hajar dan al-Hafidz as-Suyuthi menilainya hasan) 

Dengan demikian, hukumnya adalah sunah.

Menggerakkan telunjuk ketika tasyahud

1.        Menggerakkan Telunjuk Saat Tasyahhud?
Pertanyaan:
Bagaimanakah hukum menggerak-gerakkan jari telunjuk saat salat (Tasyahhud)? 
Jawaban:
Dalam hadis sahih riwayat Imam Muslim mengenai tatacara tangan saat tasyahhud adalah meletakkan tangan kanan di atas lutut kanan dengan menggenggam tangan (seperti saat tasyahhud pada umumnya), kemudian Rasulullah berisyarat dengan jari telunjuknya.
Namun ada riwayat an-Nasai (1251) dari sahabat Abu Wail yang melihat Rasulullah Saw menggerakkan jarinya tersebut saat Tasyahhud:
عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ قَالَ قُلْتُ لَأَنْظُرَنَّ إِلَى صَلَاةِ رَسُولِ اللهِ g كَيْفَ يُصَلِّي  …وَحَلَّقَ حَلْقَةً ثُمَّ رَفَعَ أُصْبُعَهُ فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهَا (رواه النسائي رقم 1251)
“Wail bin Juhr berkata: Sungguh saya melihat salat Rasulullah… Dan Rasulullah menggenggam tangannya kemudian mengangkat jarinya, saya melihat Rasulullah menggerakkan jarinya” (HR an-Nasai No 1251)
Sementara dari sahabat Ibnu Zubair yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan an-Nasai mengatakan bahwa Rasulullah Saw tidak menggerakkan jarinya.
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ الزُّبَيْرِ أَنَّ النَّبِيَّ g كَانَ يُشِيرُ بِأُصْبُعِهِ إِذَا دَعَا وَلاَ يُحَرِّكُهَا (رواه النسائي رقم 1253 وابو داود رقم 839)
“Rasulullah berisyarah dengan jarinya saat tahiyat dan tidak menggerakkannya” (HR an-Nasai No 1251 dan Abu Dawud No 839)
Dari dua hadis yang seolah bertentangan ini, ahli hadis al-Baihaqi mencoba memadukan makna keduanya: "Bisa jadi yang dimaksud 'menggerakkan tangan' adalah berisyarat dengan mengangkat telunjuk, bukan menggerakkan dalam arti  diulang-ulang"  (Aun al-Ma'bud
Syarah Sunan Abi Dawud, 2/305)
Kendatipun demikian, Imam Malik tetap memilih hadis Abu Wail dan menganjurkan menggerakkan jari telunjuk sejak awal tasyahhud. Sementara menurut Imam Hanafi mengangkat telunjuk disunnahkan saat mengucap-kan 'Laa' dari kalimat Syahadat tanpa menggerakkannya. Imam Syafii menganjurkan mengangkat jari saat mengucap 'illa Allah' sebagai isyarat mengesakan Allah dengan 1 jari telunjuk dan tidak digerakkan sampai selesai salat. (Fatawa al-Azhar 9/23)
Mengapa mengangkat jari telunjuk saat membaca syahadat?
وَمَوْضِعُ اْلإِشَارَةِ عِنْدَ قَوْلِهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ لِمَا رَوَاهُ الْبَيْهَقِي مِنْ فِعْلِ النَّبِيِّ وَيَنْوِي بِاْلإِشَارَةِ التَّوْحِيْدَ وَاْلإِخْلاَصَ فِيْهِ فَيَكُوْنُ جَامِعًا فِي التَّوْحِيْدِ بَيْنَ الْفِعْلِ وَالْقَوْلِ وَاْلاِعْتِقَادِ وَلِذَلِكَ نَهَي النَّبِي عَنِ اْلإِشَارَةِ بْالإِصْبَعَيْنِ (عون المعبود 2/ 305)

“Al-Baihaqi meriwayatkan dari Rasulullah Saw tentang waktu mengangkat telunjuk adalah ketika mengucapkan kalimat Syahadat, dan berniat sebagai isyarat Tauhid dan Ikhlas beribadah kepada Allah”. (Aun al-Ma'bud Syarah Sunan Abi Dawud, 2/305)

Sholat sunnah berjamaah..bagaimana hukumnya?

1.        Salat Sunah Berjamaah
Pertanyaan:
-            Bagaimana hukumnya melakukan salat Witir secara berjamaah setelah Isya’? Hamba Allah, Sby.
-            Bolehkah salat Dluha berjamaah dalam hukum fikih? 
Jawaban:
Pada dasarnya salat sunah ada dua, yaitu (1) yang sunah berjemaah, seperti hari raya, tarawih dan sebagainya, ada pula (2) yang tidak sunah berjamaah, seperti dluha, witir, tasbih dan lainnya. Namun diperbolehkan melakukan secara berjemaah, berdasarkan hadis-hadis sahih.
Dari Ibnu Abbas, ia berkata bahwa ia menginap di rumah Maimunah (istri Nabi) bersama Nabi Muhammad. Di tengah malam beliau bangun, berwudlu dan salat, Ibnu Abbas juga turut melakukan hal itu, kemudian salat di sebelah belakang Rasulullah sebanyak 13 rakaat (HR al-Bukhari 4/163)
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:
وَفِيْهِ مَشْرُوْعِيَّةُ الْجَمَاعَةِ فِي النَّافِلَةِ وَالِاِئْتِمَامُ بِمَنْ لَمْ يَنْوِ الْإِمَامَةَ وَبَيَانُ مَوْقِفِ الْإِمَامِ وَالْمَأْمُوْمِ (فتح الباري لابن حجر ج 3 / ص 421)
“Hadis ini adalah dalil disyariatkannya salat berjamaah dalam salat sunah” (Fath al-Bari 3/421)
Sedangkan dalam riwayat sahih Muslim, secara tegas Imam Muslim menulis Bab “Diperbolehkannya salat berjamaah dalam salat sunah”. Kemudian beliau banyak menampilkan hadis, diantaranya:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ دَخَلَ النَّبِىُّ g عَلَيْنَا وَمَا هُوَ إِلاَّ أَنَا وَأُمِّى وَأُمُّ حَرَامٍ خَالَتِى فَقَالَ «قُوْمُوْا فَلأُصَلِّىَ بِكُمْ». فِى غَيْرِ وَقْتِ صَلاَةٍ فَصَلَّى بِنَا. فَقَالَ رَجُلٌ لِثَابِتٍ أَيْنَ جَعَلَ أَنَسًا مِنْهُ قَالَ جَعَلَهُ عَلَى يَمِيْنِهِ. ثُمَّ دَعَا لَنَا أَهْلَ الْبَيْتِ بِكُلِّ خَيْرٍ مِنْ خَيْرِ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ فَقَالَتْ أُمِّى يَا رَسُولَ اللهِ خُوَيْدِمُكَ ادْعُ اللهَ لَهُ. قَالَ فَدَعَا لِى بِكُلِّ خَيْرٍ وَكَانَ فِى آخِرِ مَا دَعَا لِى بِهِ أَنْ قَالَ «اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ وَبَارِكْ لَهُ فِيهِ» (رواه مسلم رقم 1533)
“Anas bin Malik berkata “Rasulullah datang kepada kami, yaitu saya, ibu saya dan Ummi Haram bibi saya. Rasulullah bersabda: Bangunlah, saya akan salat dengan kalian. (Anas berkata) Sementara saat itu bukan waktunya salat (wajib).” (HR Muslim No 1533)
Namun harus diupayakan masyarakat memahami bahwa salat sunah ini disyariatkan secara sediri-sendiri. Jika kemudian ada anggapan bahwa salat sunah witir, dluha, tasbih dan sebagainya harus dilakukan berjamaah, maka hukumnya diharamkan (Bughyat al-Mustarsyidin 137)
(مسألة : ب ك) : تُبَاحُ الْجَمَاعَةُ فِي نَحْوِ الْوِتْرِ وَالتَّسْبِيْحِ فَلاَ كَرَاهَةَ فِي ذَلِكَ وَلاَ ثَوَابَ، نَعَمْ إِنْ قَصَدَ تَعْلِيْمَ الْمُصَلِّيْنَ وَتَحْرِيْضَهُمْ كَانَ لَهُ ثَوَابٌ وَأَيُّ ثَوَابٍ بِالنِّيَّةِ الْحَسَنَةِ، فَكَمَا يُبَاحُ الْجَهْرُ فِي مَوْضِعِ اْلإِسْرَارِ الَّذِي هُوَ مَكْرُوْهٌ لِلتَّعْلِيْمِ فَأَوْلَى مَا أَصْلُهُ اْلإِبَاحَةُ وَكَمَا يُثَابُ فِي الْمُبَاحَاتِ إِذَا قُصِدَ بِهَا الْقُرْبَةُ كَالتَّقَوِّي بِاْلأَكْلِ عَلَى الطَّاعَةِ، هَذَا إِذَا لَمْ يَقْتَرِنْ بِذَلِكَ مَحْذُوْرٌ كَنَحْوِ إِيْذَاءٍ أَوِ اعْتِقَادِ الْعَامَّةِ مَشْرُوْعِيَّةَ الْجَمَاعَةِ وَإِلاَّ فَلاَ ثَوَابَ بَلْ يَحْرُمُ وَيُمْنَعُ مِنْهَا (بغية المسترشدين 1 / 137)

“Diperbolehkan salat berjamaah dalam salat witir dan Tasbih, tidak makruh dan tidak dapat pahala, kecuali jika bertujuan mengajarkan orang yang salat dan memberi dorongan kepada mereka untuk melakukannya, maka mendapatkan pahala karena niat yang baik. Hal ini sebagaimana mengeraskan bacaan salat saat waktu salat yang lirih (Dzuhur-Ashar) yang hukumnya makruh karena mengajarkan, maka lebih utama lagi yang asalnya adalah mubah (boleh), dan sebagaimana melakukan hal-hal yang mubah mendapatkan pahala jika diniati ibadah seperti makan dengan tujuan untuk melakukan ketaatan kepada Allah. Hukum ini selama tidak berdampak kepada yang lain, misalnya menyakiti orang lain maupun adanya keyakinan orang awam bahwa salat tersebut disyariatkan secara berjamaah. Kalau sampai mengarah seperti itu maka tidak dapat pahala, bahkan diharamkan dan harus dicegah” (Bughyah 1/137)

hukum mengusap wajah setelah sholat

1.        Mengusap Wajah dan Bersalaman Setelah Salat
Pertanyaan:
Benarkah dalam kitab-kitab fikih tidak ada kesunahan mengusap wajah setelah Salat? Bagaimana pula hukum bersalaman setelah Salat? 
Jawaban:
Memang benar, dalam kitab-kitab fikih Syaifiiyah tidak ada kesunahan tersebut. Namun, apa yang telah banyak dilakukan oleh umat Islam tersebut berdasarkan sebuah hadis:
وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ g كَانَ إِذَا صَلَّى وَفَرَغَ مِنْ صَلاَتِهِ مَسَحَ بِيَمِيْنِهِ عَلَى رَأْسِهِ وَقَالَ بِسْمِ اللهِ الِّذِي لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ اللَّهُمَّ أَذْهِبْ عَنِّي الْهَمَّ وَالْحَزَنَ وَفِي رِوَايَةٍ: مَسَحَ جَبْهَتَهُ بِيَدِهِ الْيُمْنَى وَقَالَ فِيْهَا "اللَّهُمَّ أَذْهِبْ عَنِّي الْهَمَّ وَالْحَزَنَ" (رواه الطبراني في الأوسط والبزار بنحوه بأسانيد وفيه زيد العمى وقد وثقه غير واحد وضعفه الجمهور وبقية رجال أحد إسنادي الطبراني ثقات وفي بعضهم خلاف مجمع الزوائد 10/ 145)
"Diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah Saw jika selesai dari salatnya, beliau mengusap kepalanya (dalam riwayat lain keningnya/jabhat) dengan tangan kanannya dan berdoa 'Bismillahi alladzi Laa ilaaha illaa huwa ar-Rahmaanu ar-Rahiimu. Allahumma adzhib 'anni al-hamma wa al-hazana (Dengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang. Ya Allah hilangkan dari saya kesedihan dan kesusahan)"
Al-Hafidz al-Haitsami berkata: HR ath-Thabrani dalam al-Ausath dan al-Bazzar. Sebagian perawinya dinilai terpercaya dan dlaif, perawi lainnya terpercaya. Seandainya pun hadis ini dlaif, maka sesuai kesepakatan ulama ahli hadis bahwa hadis dlaif boleh diamalkan dalam keutamaan amal.
Sedangkan bersalaman setelah salat berdasarkan hadis:
وَعَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ قَالَ خَرَجَ رَسُولُ اللهِ g بِالْهَاجِرَةِ إِلَى الْبَطْحَاءِ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ صَلَّى الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ، وَالْعَصْرَ رَكْعَتَيْنِ، وَبَيْنَ يَدَيْهِ عَنَزَةٌ ... وَقَامَ النَّاسُ فَجَعَلُوا يَأْخُذُونَ يَدَيْهِ ، فَيَمْسَحُونَ بِهَا وُجُوهَهُمْ، قَالَ فَأَخَذْتُ بِيَدِهِ، فَوَضَعْتُهَا عَلَى وَجْهِى، فَإِذَا هِىَ أَبْرَدُ مِنَ الثَّلْجِ، وَأَطْيَبُ رَائِحَةً مِنَ الْمِسْكِ (رواه أحمد والبخاري)
"Diriwayatkan dari Abu Juhaifah bahwa Rasulullah Saw keluar dari pada siang hari yang sangat panas menuju Bathha', kemudian berwudlu', salat Dzuhur 2 rakaat dan Ashar 2 rakaat dan dihadapan beliau ada tongkat (sebagai sutrah/pembatas). Kemudian Rasulullah Saw berdiri, dan orang-orang memegang tangan beliau (bersalaman) dan meletakkan tangan beliau ke wajah mereka. Saya (Abu Juhaifah) juga melakukannya. Ternyata tangan beliau lebih sejuk daripada salju dan lebih harum daripada minyak misik" (HR al-Bukhari No 3289 dan Ahmad No 18789. Dalam riwayat lain para sahabat bersalaman dengan Rasulullah Saw setelah salat Subuh, HR Ahmad No 17513 dari Yazid bin Aswad)
Al-Hafidz Ibnu Hajar mengutip pendapat para ulama:
قَالَ النَّوَوِيّ: وَأَمَّا تَخْصِيصُ الْمُصَافَحَةِ بِمَا بَعْد صَلَاتَيْ الصُّبْحِ وَالْعَصْرِ فَقَدْ مَثَّلَ اِبْنُ عَبْدِ السَّلَامِ فِي "الْقَوَاعِدِ" الْبِدْعَةَ الْمُبَاحَةَ مِنْهَا. قَالَ النَّوَوِيّ: وَأَصْلُ الْمُصَافَحَة سُنَّةٌ، وَكَوْنُهمْ حَافَظُوا عَلَيْهَا فِي بَعْضِ الْأَحْوَال لَا يُخْرِجُ ذَلِكَ عَنْ أَصْلِ السُّنَّةِ (فتح الباري لابن حجر - ج 17 / ص 498)

“An-Nawawi berkata: Penentuan bersalaman setelah salat Subuh dan Ashar digolongkan oleh Ibnu Abdissalam seabagai bid’ah yang diperbolehkan. An-Nawawi berkata: Pada dasarnya bersalaman adalah sunah. Mereka melakukan salaman pada waktu-waktu tertentu tidaklah sampai menyimpang dari sunah” (Fath al-Baari 17/498)

Selasa, 03 Februari 2015

Hukum Maulid Nabi

Maulid Nabi Saw
Berdasarkan Fatwa Ahli Hadis Dan Ulama Kontemporer
Dalam sejarah yang disampaikan oleh para ulama ahli hadis bahwa orang yang pertama kali memperbarui pelaksanaan Maulid Nabi Saw adalah penguasa Irbil, Raja al Mudzaffar Abu Said Kukburi bin Zainuddin Ali bin Biktikin (549-630 H), salah seorang raja yang agung, besar dan mulia. Ia memiliki riwayat hidup yang baik. Dan dia telah memakmurkan masjid Jami' al Mudzaffari di Safah Qasiyun. Ibnu Katsir berkata dalam kitab Tarikh-nya, bahwa Malik al Mudzaffar mengamalkan maulid Nabi di bulan Rabi'ul Awal dan melakukan perayaan yang besar. Dia adalah cerdas hatinya, pemberani, tangguh, cerdas akalnya, pandai dan adil. Semoga Allah merahmatinya dan memuliakan tempat kembalinya.
Berikut beberapa fatwa ulama ahli hadis dan ulama kontemporer berkaitan hukum dan keutamaan Maulid Nabi Saw.
  • Al-Hafidz Abu Syamah
قَالَ اْلاِمَامُ أَبُوْ شَامَةَ شَيْخُ الْمُصَنِّفِ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى: وَمِنْ أَحْسَنِ مَا ابْتُدِعَ فِي زَمَانِنَا مَا يُفْعَلُ فِي كُلِّ عَامٍ فِي الْيَوْمِ الْمُوَافِقِ لِيَوْمِ مَوْلِدِهِ : مِنَ الصَّدَقَاتِ وَالْمَعْرُوْفِ وَإِظْهَارِ الزِّيْنَةِ وَالسُّرُوْرِ، فَإِنَّ ذَلِكَ مَعَ مَا فِيْهِ مِنَ اْلاِحْسَانِ إِلَى الْفُقَرَاءِ يُشْعِرُ بِمَحَبَّةِ النَّبِي وَتَعْظِيْمِهِ وَجَلَالَتِهِ فِي قَلْبِ فَاعِلِ ذَلِكَ، وَشُكْرِ اللهِ تَعَالَى عَلَى مَا مَنَّ بِهِ مِنْ إِيْجَادِ رَسُوْلِهِ الَّذِي أَرْسَلَهُ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ . (إعانة الطالبين - ج 1 / ص 313)
“Imam Abu Syamah, guru Imam Nawawi: Diantara bid’ah yang baik di masa kami adalah perayaan Maulid Nabi, seperti sedekah, berbuat baik dan menampakkan kesenangan. Disamping mengandung kebaikan juga menunjukkan kecintaan kepada Nabi dan syukur kepada Allah atas diutusnya Nabi untuk seluruh alam” (Ianat ath-Thalibin 1/313)
  • Syaikhu al Islam Al Hafidz Ibnu Hajar:
أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ تُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ وَلَكِنَّهَا مَعَ ذَلِكَ قَدِ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا فَمَنْ تَحَرَّى فِي عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَ بِدْعَةً حَسَنَةً، وَإِلاَّ فَلاَ. (الحاوي للفتاوي للسيوطي - ج 1 / ص 272)
"Pokok utama dalam amaliyah Maulid adalah bid'ah yang tidak diriwayatkan dari ulama salaf as shalih dari tiga generasi (sahabat, tabi'in, dan atba' at tabi'in). Akan tetapi Maulid tersebut mengandung kebaikan-kebaikan dan sebaliknya. Maka barangsiapa yang berusaha meraih kebaikan dalam Maulid dan menjauhi yang buruk, maka termasuk bid'ah yang baik. Jika tidak, maka disebut bid'ah yang buruk" (al-Hawi, Fatawa as-Suyuthi 1/727)
  • Al-Hafidz as-Sakhawi
قَالَ الْحَافِظُ أَبُوْ الْخَيْرِ السَّخَاوِي - رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى - فِي فَتَاوِيْهِ: عَمَلُ الْمَوْلِدِ الشَّرِيْفِ لَمْ يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ الصَّالِحِ فِي الْقُرُوْنِ الثَّلَاثَةِ الْفَاضِلَةِ، وَإِنَّمَاَ حَدَثَ بَعْدُ، ثُمَّ لَا زَالَ أَهْلُ اْلإِسْلَامِ فِي سَائِرِ اْلأَقْطَارِ وَالْمُدُنِ الْكِبَارِ يَحْتَفِلُوْنَ فِي شَهْرِ مَوْلِدِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَمَلِ الْوَلَائِمِ الْبَدِيْعَةِ الْمُشْتَمِلَةِ عَلَى اْلأُمُوْرِ الْبَهْجَةِ الرَّفِيْعَةِ وَيَتَصَدَّقُوْنَ فِي لَيَالِيْهِ بِأَنْوَاعِ الصَّدَقَاتِ وَيُظْهِرُوْنَ السُّرُوْرَ وَيَزِيْدُوْنَ فِي الْمَبَرَّاتِ وَيَعْتَنُوْنَ بِقِرَاءَةِ مَوْلِدِهِ الْكَرِيْمِ وَيَظْهَرُ عَلَيْهِمْ مِنْ رَكَاتِهِ كُلَّ فَضْلٍ عَمِيْمٍ. (سبل الهدى والرشاد في سيرة خير العباد - 1 / 362)
Al-Hafidz as-Sakhawi berkata dalam Fatwanya: Amaliyah Maulid tidal diriwayatkan dari seorang ulama Salaf dalam 3 kurun yang utama. Amaliyah ini dilakukan sesudahnya, kemudian umat Islam di seluruh penjuru dan kota besar selalu merayakannya di bulan kelahiran Nabi Saw, dengan perayaan yang indah dan agung, mereka bersedekah di malam harinya, menampakkan rasa suka cita, menambah belanjanya, dan membaca kelahiran Nabi Saw. Dan tampak kepada mereka berkahnya-Nabi dengan merata (Subul al-Huda wa ar-Rasyad 1/362)
  • Al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi
الْجَوَابُ-عِنْدِي أَنْ أَصْلَ عَمَلِ الْمَوْلِدِ الَّذِي هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآَنِ وَرِوَايَةُ اْلأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِي مَبْدَأِ أَمْرِ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا وَقَعَ فِي مَوْلِدِهِ مِنَ اْلآيَاتِ ثُمَّ يُمَدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذَلِكَ هُوَ مِنَ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِي يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِظْهَارُ الْفَرَحِ وَاْلاِسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ (الحاوي للفتاوي للسيوطي - ج 1 / ص 272)
Jawab: Menurut saya, bahwa subtansi dari maulid yang berupa berkumpulnya banyak orang, membaca al Quran, membaca kisah-kisah Nabi Muhammad mulai beliau diutus menjadi Rasul dan hal-hal yang terjadi saat kelahirannya yang terdiri dari tanda-tanda kenabian, dilanjutkan dengan suguhan hidangan untuk makan bersama kemudian selesai tanpa ada tambahan lagi, maka hal ini tergolong bidah yang baik, yang pelakunya mendapatkan pahala karena ia mengagungkan derajat Nabi Muhammad Saw, menampakkan rasa senang dan kebahagiaan dengan kelahirannya yang mulia (al-Hawi, Fatawa as-Suyuthi 1/727)
  • Dr. Said Romdlon al-Buthi
ﻣُﺤَﻤّﺪْ ﺳَﻌِﻴْﺪْ ﺭَﻣْﻀَﺎﻥْ ﺍﻟْﺒُﻮْﻃِﻲ ﻗَﺎﻝَ : " ﺍْﻻِﺣْﺘِﻔَﺎﻝُ ﺑِﺬِﻛْﺮَﻯ ﻣَﻮْﻟِﺪِ ﺭَﺳُﻮْﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻧﺸَﺎﻁٌ ﺍِﺟْﺘِﻤَﺎﻋِﻲٌ ﻳُﺒْﺘَﻐَﻲ ﻣِﻨْﻪُ ﺧَﻴْﺮٌ ﺩِﻳْﻨِﻲّ، ﻓَﻬُﻮَ ﻛَﺎﻟْﻤُﺆْﺗَﻤَﺮَﺍﺕِ ﻭَﺍﻟﻨّﺪَﻭَﺍﺕِ ﺍﻟﺪِﻳْﻨِﻴّﺔِ ﺍﻟَﺘِﻲ ﺗُﻌْﻘَﺪُ ﻓِﻲﻫَﺬَﺍ ﺍﻟْﻌَﺼْﺮِ، ﻭَﻟَﻢْ ﺗَﻜُﻦْ ﻣَﻌْﺮُﻭْﻓَﺔً ﻣِﻦْ ﻗَﺒْﻞُ . ﻭَﻣِﻦْ ﺛَﻢّ ﻻَ ﻳَﻨْﻄَﺒِﻖُ ﺗَﻌْﺮِﻳْﻒُ ﺍْﻟﺒِﺪْﻋَﺔِ ﻋَﻠَﻰ ﺍْﻻِﺣْﺘِﻔَﺎﻝِ ﺑِﺎﻟْﻤَﻮْﻟِﺪِ، ﻛَﻤَﺎ ﻻَﻳَﻨْﻄَﺒِﻖُ ﻋَﻠَﻰﺍﻟﻨّﺪَﻭَﺍﺕِ ﻭَﺍﻟْﻤُﺆْﺗَﻤَﺮَﺍﺕِ ﺍﻟﺪِﻳْﻨِﻴَﺔِ. ﻭَﻟَﻜِﻦْ ﻳَﻨْﺒَﻐِﻲ ﺃَﻥْ ﺗَﻜُﻮْﻥَ ﻫَﺬِﻩِ ﺍﻻِﺣْﺘِﻔَﺎﻻَﺕُ ﺧَﺎﻟِﻴَﺔً ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤُﻨْﻜَﺮَﺍﺕِ " (ﻓﺘﺎﻭﻯ ﻋﻦ ﺍﻟﻤﻮﻟﺪ ﺍﻟﻨﺒﻮﻱ)
“Perayaan Maulid Nabi adalah semangat social yang bernilai agamis, seperti muktamar dan seminar agama yang dilakukan di masa sekarang, dahulu tidak ada. Oleh karenanya tidak tepat jika disebut bid’ah sebagaimana seminar dan muktamar Islam tidak disebut bid’ah. Tapi harus dihindari dari kemungkaran” (Fatawa al-Maulid an-Nabi)
  • Dr. Wahbah Zuhaili
ﻭَﻫْﺒَﺔْ ﺍﻟﺰّﺣَﻴْﻠِﻲ ﻗَﺎﻝَ : "ﺇِﺫَﺍ ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟْﻤَﻮْﻟِﺪُ ﺍﻟﻨَﺒَﻮِﻱ ﻣُﻘْﺘَﺼِﺮًﺍ ﻋَﻠَﻰ ﻗِﺮَﺍﺀَﺓِ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥِ ﺍﻟْﻜَﺮِﻳْﻢِ ، ﻭَﺍﻟﺘّﺬْﻛِﻴْﺮِ ﺑِﺄَﺧْﻼَﻕِ ﺍﻟﻨّﺒِﻲّﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟﺼّﻼَﺓُ ﻭَﺍﻟﺴّﻼَﻡُ، ﻭَﺗَﺮْﻏِﻴْﺐُ ﺍﻟﻨَﺎﺱِ ﻓِﻲ ﺍْﻻِﻟْﺘِﺰَﺍﻡِ ﺑِﺘَﻌَﺎﻟِﻴْﻢِ ﺍﻹِﺳْﻼَﻡِ ﻭَﺣَﻀِﻬِﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻔَﺮَﺍﺋِﺾِ ﻭَﻋَﻠَﻰ ﺍْﻵﺩَﺍﺏِ ﺍﻟﺸّﺮْﻋِﻴَﺔِ ... ﻻَ ﻳُﻌَﺪّ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺒِﺪَﻉِ" (ﺍﻟﺠﺰﻳﺮﺓ ﻧﺖ: ﺣﻠﻘﺔ ﺍﻟﺒﺪﻋﺔ ﻭﻣﺠﺎﻻﺗﻬﺎ ﺍﻟﻤﻌﺎﺻﺮﺓ ﻣﻊ ﺍﻟﺪﻛﺘﻮﺭ ﻭﻫﺒﺔ ﺍﻟﺰﺣﻴﻠﻲ)
“Jika Maulid hanya sekedar membaca al-Quran, mengingatkan akhlak Nabi, mendorong umat agar mengamalkan ajaran Islam dan mendorong melakukan ibadah wajib dan akhlak agama, maka bukan sebagai bid’ah” (Halaqah al-Bid’ah)
  • Dr. Ali Jumat, Mufti Mesir
ﻋَﻠِﻲ ﺟُﻤْﻌَﺔْ ﻣُﻔْﺘِﻲ ﻣِﺼْﺮَ ، ﺣَﻴْﺚُ ﻗَﺎﻝَ : " ﺍْﻻِﺣْﺘِﻔَﺎﻝُ ﺑِﺬِﻛْﺮَﻯ ﻣَﻮْﻟِﺪِﻩِ ﻣِﻦْ ﺃَﻓْﻀَﻞِ ﺍْﻷﻋْﻤَﺎﻝِ ﻭَﺃَﻋْﻈَﻢِ ﺍﻟْﻘُﺮُﺑَﺎﺕِ؛ ﻷﻧّﻪُ ﺗَﻌْﺒِﻴْﺮٌ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﻔَﺮَﺡِ ﻭَﺍﻟْﺤُﺐّ ﻟَﻪُ، ﻭَﻣَﺤَﺒّﺔُ ﺍﻟﻨّﺒِﻲ ﺃَﺻْﻞٌ ﻣِﻦْ ﺃُﺻُﻮْﻝِ ﺍﻹِﻳْﻤَﺎﻥِ " (ﺍﻟﺒﻴﺎﻥ ﻟﻤﺎ ﻳﺸﻐﻞ ﺍﻷﺫﻫﺎﻥ)
“Perayaan Maulid Nabi adalah amal yang paling utama dan ibadah yang agung. Sebab Maulid ibaratnya adalah rasa senang dan cinta pada Nabi. Sedangkan mencintai Nabi adalah dasar keimanan” (al-Bayan li ma Yusyghilu al-Adzhan)
  • Dr. Yusuf Qardlawi
ﻳُﻮْﺳُﻒْ ﺍﻟْﻘَﺮْﺿَﺎﻭِﻱ ، ﺭَﺋِﻴْﺲُ ﺍْﻻِتِّحَاﺩِ ﺍﻟْﻌَﺎﻟَﻤِﻲ ﻟِﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴْﻦَ ﻗَﺎﻝَ ﻋَﻦْ ﺫِﻛْﺮَﻯ ﺍﻟْﻤَﻮْﻟِﺪِ : " ﺇِﺫَﺍ ﺍﻧْﺘَﻬَﺰْﻧَﺎ ﻫَﺬِﻩِ ﺍﻟْﻔُﺮْﺻَﺔَ ﻟِﻠﺘّﺬْﻛِﻴْﺮِ ﺑِﺴِﻴْﺮَﺓِ ﺭَﺳُﻮْﻝِ  اللهِ، ﻭَﺑِﺸَﺨْﺼِﻴّﺔِ ﻫَﺬَﺍ ﺍﻟﻨّﺒِﻲّ ﺍﻟْﻌَﻈِﻴْﻢِ، ﻭَﺑِﺮِﺳَﺎﻟَﺘِﻪِ ﺍﻟْﻌَﺎﻣّﺔِ ﺍْﻟﺨَﺎﻟِﺪَﺓِ ﺍﻟّﺘِﻲ ﺟَﻌَﻠَﻬَﺎ ﺍﻟﻠﻪُ ﺭَﺣْﻤَﺔً ﻟِﻠْﻌَﺎﻟﻤِﻴْﻦَ، ﻓَﺄَﻱّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﻓِﻲ ﻫَﺬَﺍ ﻭَﺃَﻳّﺔُ ﺿَﻼَﻟَﺔٍ؟ ")ﻣﻮﻗﻊ ﺍﻟﻘﺮﺿﺎﻭﻱ: ﺍﻻﺣﺘﻔﺎﻝ ﺑﻤﻮﻟﺪ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﻭﺍﻟﻤﻨﺎﺳﺒﺎﺕ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ(
“Jika kita menjadikan kesempatan ini untuk mengingat sejarah Rasulullah, kepribadian Nabi yang agung dan ajaran kerasulannya yang abadi yang diutus untuk seluruh alam, maka apanya yang bid’ah dan apanya yang sesat?” (al-Ihtifal Bi Maulidi an-Nabi)